Fikih Jual Beli Kredit (Bag. 6)
Syarat-syarat jual beli kredit
Tentunya dalam masalah akad muamalah, syarat memiliki urgensi tersendiri. Karena jika syarat-syarat pada suatu akad muamalah tidak terpenuhi, hal itu akan beresiko terhadap keberkahan akad tersebut, bahkan sangat mempengaruhi keabsahan dari suatu akad muamalah.
Mengingat bahwasanya jual beli kredit adalah salah satu dari jenis jual beli, maka semua syarat akad jual beli harus terpenuhi padanya. Terdapat tujuh syarat jual beli secara umum [1],
- Adanya keridaan atau kerelaan antara kedua belah pihak;
- Pihak yang berakad adalah seorang yang layak untuk bertransaksi;
- Barang yang ditransaksikan adalah barang yang mubah dan tidak ada keharaman padanya;
- Barang tersebut adalah milik pihak yang berakad (penjual) atau dia diizinkan (oleh pemilik barang) untuk menjualnya;
- Barang yang dijual dapat diketahui dengan cara melihatnya atau dengan sifatnya (dapat dideskripsikan);
- Harga dari barang tersebut dapat diketahui dengan jelas;
- Adanya kemampuan untuk menyerahkan barang yang diakadkan.
Syarat-syarat di atas berkaitan dengan jual beli secara umum. Sehingga pada akad jual beli kredit, ketujuh syarat tersebut pun harus tetap berlaku dan tidak boleh untuk dikesampingkan.
Terdapat syarat-syarat khusus yang harus terpenuhi terkait dengan jual beli kredit. Dan syarat-syarat ini terbagi menjadi dua poin utama [2]:
Pertama, syarat-syarat yang berkaitan dengan ‘iwadh (nominal dan barangnya).
Kedua, syarat-syarat yang berkaitan dengan ‘ajal (jangka waktu atau jatuh tempo).
Syarat-syarat yang berkaitan dengan ‘iwadh
Maksud poin ini adalah syarat yang berkaitan dengan nilai jual beli dan barangnya. Dalam hal ini, jual beli kredit memiliki syarat-syarat khusus dibanding dengan jual beli secara umum.
Syarat pertama: Tidak adanya riba pada nominal dan barang yang diperjualbelikan
Dikarenakan jual beli kredit terdapat jangka waktu tertentu, maka disyaratkan agar tidak adanya riba dalam transaksi tersebut. Apa itu riba? Riba adalah,
فَضْلٌ خال عَنْ عِوَضٍ بِمِعْيَارٍ شَرْعِيٍّ مَشْرُوْطٍ لِأَحَدِ المُتَعَاقِدَيْنِ فِي المُعَاوَضَةِ
“Tambahan yang kosong dari imbalan (pengganti) dengan standar syar’i yang disyaratkan untuk salah satu pihak yang berakad mu’awadhoh (tukar-menukar).”
Yakni, riba adalah suatu tambahan yang tidak adanya timbal balik dari keberadaan tambahan tersebut dan tambahan ini dihukumi oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai tambahan yang haram dan inilah yang dinamakan riba. Allah Ta’ala berfirman,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَذَرُوْا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبٰوٓا اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ فَاِنْ لَّمْ تَفْعَلُوْا فَأْذَنُوْا بِحَرْبٍ مِّنَ اللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖۚ وَاِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوْسُ اَمْوَالِكُمْۚ لَا تَظْلِمُوْنَ وَلَا تُظْلَمُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang mukmin. Jika kamu tidak melaksanakannya, ketahuilah akan terjadi perang (dahsyat) dari Allah dan Rasul-Nya. Akan tetapi, jika kamu bertobat, kamu berhak atas pokok hartamu. Kamu tidak berbuat zalim (merugikan) dan tidak dizalimi (dirugikan).” (QS. Al-Baqarah: 278-279)
Begitupun terdapat banyak hadis dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan akan haramnya riba. Oleh karena itu, berhati-hatilah dalam transaksi jual beli kredit yang tentunya sangat erat kaitannya dengan riba.
Terdapat banyak transaksi yang bersifat jual beli kredit, namun ternyata di sana ada riba-riba yang terselubung. Sangat-sangat samar dan tidak disebut sebagai riba. Mereka menamakannya dengan nama-nama yang lainnya, dikaburkan agar manusia tidak sadar bahwa transaksi tersebut adalah transaksi riba.
Mengingat saat ini kebanyakan kaum muslimin sudah faham dengan hakikat jual beli riba, bahkan tidak sedikit dari kaum muslimin yang faham dan mengerti terkait dengan istilah yang mereka gunakan seperti “bunga”. Namun lagi-lagi, bagaimana caranya mereka mengelabui dan mengaburkan pandangan kaum muslimin dari riba. Dengan menyebutnya sebagai biaya administrasi, floating, dan lain sebagainya. Maka hendaknya kaum muslimin berhati-hati terhadap transaksi seperti ini.
Syarat kedua: Penjual harus benar-benar memiliki barang tersebut
Tidak boleh penjual suatu barang atau produk yang bukan miliknya. Dalil terkait dengan hal ini bermacam-macam, di antaranya hadis Hakim bin Hizam, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Hakim bin Hizam radiyallahu ‘anhu,
لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
“Janganlah engkau menjual (barang) yang bukan milikmu.” (HR. At-Tirmidzi)
Suatu ketika, Hakim bin Hizam didatangi oleh seseorang meminta untuk dicarikan suatu barang. Namun ketika itu, barang yang diinginkan tidak ada di tangan Hakim. Hakim pun bergegas menuju pasar untuk mencari barang tersebut dan membelinya, setelah itu Hakim pun menjual kepada orang tadi. Kemudian bertanyalah Hakim kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Nabi pun menjawab dengan ucapan beliau di atas.
Sehingga hadis di atas menjadi pondasi dasar akan jual beli kredit. Yaitu, tidak boleh bagi penyedia kredit untuk menjual barang yang belum dimiliki. Realita dapat terlihat dalam praktek jual beli kredit, sering kali pihak penyedia belum atau bahkan tidak memiliki barang yang ingin dikreditkan.
Sebagai contoh, A ingin membeli rumah dengan cara kredit, kemudian ia datang ke penyedia layanan kredit. Penyedia layanan kredit pun membelikan rumah untuk A kepada pihak penjual rumah (baca: developer) secara tunai dan tanpa ada serah terima. Setelah itu, pihak penyedia kredit memberikan rumah kepada A dan A mengangsur rumah tersebut kepada penyedia kredit sampai waktu yang ditentukan.
Pada transaksi ini, hakikatnya adalah penyedia kredit memberi utang kepada A, lalu A membayar utangnya dengan nilai yang lebih tinggi. Selisih ini hakikatnya adalah riba.
Akad seperti ini juga tidak diperbolehkan karena pihak penyedia kredit menjual barang yang belum benar-benar menjadi miliknya (karena belum ada serah terima barang). Sehingga akad-akad transaksi seperti ini sudah semestinya dijauhi agar terhindar dari larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.
[Bersambung]
Kembali ke bagian 5 Lanjut ke bagian 7
***
Depok, 9 Zulhijah 1446/ 5 Juni 2025
Penulis: Zia Abdurrofi
Artikel Muslim.or.id
Referensi:
Secara umum, pembahasan ini diringkas dari kitab Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu wa Atsaaruhu fil Fiqhil Islamiy, karya Dr. Abdunnur Farih Ali.
Ahkam Uqud At-Tamwiil fil Fiqhil Islamiy, karya Abdullah bin Radhiy.
Dan beberapa referensi lainnya.
Catatan kaki:
[1] Ahkam Uqud At-Tamwiil fil Fiqhil Islamiy, hal. 89.
[2] Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu wa Atsaaruhu fil Fiqhil Islamiy, hal. 117.
Artikel asli: https://muslim.or.id/106042-fikih-jual-beli-kredit-bag-6.html